HIRANKA.COM - Bau Nyale merupakan salah satu tradisi yang rutin dilaksanakan masyarakat suku Sasak khususnya yang bermukim di wilayah Lombok Tengah sejak berabad-abad.
Berdasarkan
penjelasan yang tertera pada laman kemdikbud.go.id., Bau Nyale berasal dari dua
kata, yaitu “Bau” yang maknanya adalah ‘menangkap’ dan “Nyale” yang artinya
adalah sejenis cacing laut.
Tradisi Khas Suku Sasak Salah Satunya yaitu Bau Nyale
Dari ungkapan di
atas dengan mudah kita dapat menyimpulkan bahwa “Bau Nyale” adalah tradisi
berupa menangkap cacing laut yang biasa dilaksanakan di Pantai Seger, Kuta,
Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Cacing Nyale
Sumber Instagram @keindahan_lombok |
Cacing ini berwarna
hijau, merah, atau kuning. Ia dapat berkembang biak secara seksual maupun
aseksual.
Tradisi menangkap
lalu memakan cacing laut jenis ini ternyata tidak hanya terdapat di Lombok
saja, diketahui bahwa masyarakat Astronesia dan Polinesia biasa melakukan hal
tersebut. Di wilayah Samoa, Salomon, Fiji dan sekitarnya, cacing yang biasa
disebut balolo ini biasa diburu pada sekitar bulan Juni-Juli, yaitu
ketika cacing-cacing ini naik ke permukaan laut pada musim kawin.
Mitos Putri Mandalika
Sumber Instagram @arleneflo |
Meskipun siapa yang
memulai tradisi ini belum diketahui, tetapi tradisi ini berkaitan erat dengan
mitos tentang Putri Mandalika yang diyakini masyarakat setempat.
Putri Mandalika
adalah seorang putri yang berparas jelita dan berbudi tinggi. Kecantikan dan
keindahan budinya itulah yang membuatnya diperebutkan oleh banyak pangeran
untuk dijadikan istri. Suatu ketika, ia terpaksa harus memilih salah satu di
antara pangeran-pangeran itu. Sebab jika tidak, ditakutkan akan terjadi perang
besar antar kerajaan.
Putri Mandalika
yang tidak bisa memilih akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan yang tidak
terduga. Ia lalu menceburkan dirinya ke laut dan tiba-tiba tubuhnya berubah
menjadi cacing-cacing laut wana-warni nan indah.
Cacing itulah yang
disebut nyale, dan masyarakat meyakini bahwa siapa yang berhasil menangkap
cacing-cacing itu maka ia akan mendapatkan keberuntungan.
Rangkaian Penetapan Hari Bau Nyale
Tradisi Bau Nyale
biasa dilaksanakan pada hari ke-19 dan 20 di bulan ke-10 dan 11 dalam
perhitungan penanggalan tradisional suku Sasak.
Namun untuk
menentukan tanggal tersebut tidak sembarangan, harus melalui rangkaian adat
yang sudah dilangsungkan secara rutin sejak lama.
Untuk menentukan
tanggal, akan dilaksanakan sangkep wariga, yaitu musyawarah para pemuka
adat untuk menentukan kapan kiranya Nyale akan keluar ke permukaan laut.
Selanjutnya diadakan mepaosan, yakni pembacaan syair-syair, kisah, atau
babad yang biasa ditulis di atas daun lontar oleh para pemuka adat sehari
sebelum Hari Bau Nyale dilaksanakan, mepaosan ini diselenggarakan di
tempat khusus berupa bangunan tradisional dengan empat tiang yang biasa
dinamakan Bale Saka Pat.
Dalam mepaosan itu
juga dibacakan beberapa nyanyian tradisional dengan urutan khusus, juga
beberapa peralatan adat yang wajib ada seperti kapur, sirih, kembang setaman,
serta dua buah gunungan yang dibuat dari jajanan-jajanan lokal.
Pada dini hari
dimana Bau Nyale dilaksanakan, sebelum masyarakat berlarian ke laut untuk
melakukan Bau Nyale, para pemuka adat (mamik-mamik) akan melaksanakan satu lagi
upacara yang disebut Nede Rahayu Ayuning Jagad.
Setelah itu
masyarakat akan turun ke laut dan menangkapi nyale sebanyak mungkin.
Olahan Nyale
Sumber Instagram @oboltour.lombok |
Beberapa cara
mengolah nyale adalah menjadikannya sayur bening, dibakar dengan pelepah
pisang, digoreng, dimasak dengan santan, atau bahkan dibuat opor yang disebut lakir
nyale.
Tidak hanya nikmat,
nyale juga mengandung protein yang tinggi dan baik untuk kesehatan.
penulis - Muhammad Hayyi